- Forkopimda Lampung Timur Kompak Dukung Produksi Jagung Nasional
- Dosen Utama Sespimen Dikreg-65: Brigjen Polisi Susetio Cahyadi Pakar Manajemen Risiko
- Bupati dan Danrem Apresiasi Kolaborasi TMMD: Akselerasi Pembangunan Desa Melinting
- Bupati Ela dan Kajari Ultimatum Penyelesaian Tunggakan PBB dalam Sebulan
- Warga Pasang Spanduk Larangan Truk Berat di Jembatan Sukorahayu, Lampung Timur
Jakarta [MP]- Jurnalis enam media massa menemukan berbagai bukti konkrit terkait deforestasi di alas hutan Kalimantan Barat yang berada di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara.
Hutan Alam seluas 33.000 ha (separuh ukuran Singapura) yang penuh hewan endemik (Orangutan, Burung Rangkong, Beruang Madu dan lainnya) dan merupakan kawasan gambut dilindungi dikepras untuk ambisi usaha Hutan Tanaman Industri milik PT Mayawana Persada.
Tak hanya merusak lingkungan, konflik sosial pun muncul karena kawasan hutan kramat masyarakat adat pun turut dirusak. KLHK turut menjadi pihak yang mengabulkan pembabatan hutan alam oleh Mayawana Persada.
Saat ini, meski pemerintah melalui KLHK sudah menerbitkan surat ( tolong masukan nomor surat KLHK ) yang memerintahkan Mayawanan untuk menghentikan kegiatan penebangan, potensi laju deforestasi masih bisa muncul kembali sampai pemerintah membatalkan izin konsesi milik Mayawana.
Saat ini struktur perusahaan yang kompleks melibatkan yurisdiksi lepas pantai menyulitkan pemerintah dan para pihak untuk menagih pertanggungjawaban atas kerusakan hutan oleh perusahaan itu.
PT Mayawana Persada dimiliki oleh perusahaan induk berlapis yang mengarah ke yurisdiksi dengan kerahasiaan tinggi yaitu British Virgin Islands dan Samoa – dua yurisdiksi yang tidak mewajibkan pengungkapan nama-nama pemegang saham kepada publik. Saat ini, setidaknya tersisa 55.000 ha hutan alam dalam konsesi yang dikelola Mayawana.
Selain itu, atas nama investasi, negara melegitimasi deforestasi termasuk areal gambut dalam yang seharusnya dilindungi. Nyawa manusia juga dipertaruhkan. Luas hutan yang telah ditebang oleh perusahaan ini jauh melampaui batas yang diizinkan dan telah menyebabkan kerusakan ekologis yang parah. Perusahaan-perusahaan besar ada di balik deforestasi ini.
Perusahaan bernama PT Mayawana Persada, salah satu perusahaan pemegang konsesi HTI yang paling massif menggerus hutan. Liputan kolaborasi Depati Project yang melibatkan sejumlah jurnalis dari beberapa media massa, mengungkap fakta, siapa di balik perusahaan ini.
“Jujur kami sedih melihat praktik pembukaan hutan yang dilakukan secara ugal-ugalan oleh Mayawana Persada. Praktik kotor itu tidak hanya mengubah bentang alam hutan menjadi tanaman monokultur, tapi juga mengakibatkan hilangnya ruang hidup dan tanah ulayat adat,” ungkap Arif Nugroho Jurnalis Pontianak Post.
Masyarakat adat yang tinggal di sekitar wilayah tersebut menjadi korban langsung dari dampak deforestasi ini. Mereka kehilangan tempat tinggal, sumber daya alam, dan juga identitas budaya mereka yang terikat erat dengan hutan. Aktivitas deforestasi PT Mayawana Persada telah mengancam kelangsungan hidup mereka dan memicu konflik sosial yang serius.
“Aktivitas PT Mayawana Persada di Dusun Lelayang, Desa Kualan Hilir, berdampak menggusur wilayah kelola para petani. Sejak tahun 2021, warga dusun itu memperkirakan tanah mereka yang telah digusur antara 3000-4000 hektare”.
“Praktik ini memiliki dampak lanjutan seperti alih profesi, pemiskinan, hingga trauma para korban. Padahal, sebagai bagian dari komunitas adat Dayak Kualan, warga di sana sangat menggantungkan hidup dengan sumber daya alam di sekitarnya,” jelas Themmy Doaly Jurnalis Ekuatorial.com.
Tidak hanya itu, kawasan lindung gambut di Kalimantan Barat juga terancam oleh praktek deforestasi ini. Gambut, sebagai ekosistem yang penting dalam menjaga keseimbangan ekologi dan mengurangi emisi gas rumah kaca, kini terancam rusak parah akibat dari eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.
“Ini sama sekali di luar bayangan saya sebagai jurnalis. Negara dalam hal ini pemerintah, memfasilitasi sebuah entitas bisnis, menjagal hutan alam habitat orangutan sekaligus ruang hidup masyarakat. Berapapun nilai investasi itu, tidak akan sebanding dengan hancurnya ekosistem ini, apalagi sekaligus membunuh kebudayaan masyarakat adat Dayak. Belum lagi ancaman bencana ekologi akibat praktik rakus dengan membabat hutan ini.” ungkap Miftah Faridl Koresponden CNN Indonesia TV.
Pemerintah setempat dan lembaga terkait diharapkan untuk segera bertindak dalam menangani masalah ini. Langkah-langkah penegakan hukum yang tegas dan efektif perlu diterapkan terhadap PT Mayawana Persada untuk menghentikan deforestasi ilegal yang mereka lakukan.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil bersama perwakilan masyarakat adat Kualan, Ketapang, Kalimantan Barat akhirnya resmi melaporkan PT. Mayawana Persada ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, Senin (29/04/2024) pagi.
Koalisi mendesak KLHK untuk mencabut izin PT Mayawana Persada lantaran deforestasi yang dilakukan hingga seluas 35 ribu hektar dari total konsesi 136.710 hektar sejak 2016. Mayawana dilaporkan melanggar pasal 1 angka 16 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atas perusakan lingkungan yang terdiri dari; perusakan gambut lindung hingga habitat orangutan.
Koalisi yang terdiri dari organisasi Satya Bumi, Wahana Lingkungan (WALHI) Eknas, WALHI Kalimantan Barat (Kalbar), Satya Bumi, Link-Ar Borneo, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar, AMAN Ketapang Utara, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pontianak, Greenpeace Indonesia, Forest Watch Indonesia, Pantau Gambut dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) ini menemui perwakilan KLHK di Gedung Manggala Wanabakti sekitar pukul 09.00 WIB.
Dalam pertemuan itu, mereka mendesak pertanggungjawaban negara, dalam hal ini KLHK, untuk mencabut izin PT. Mayawana Persada, memulihkan kerusakan lingkungan yang disebabkan perusahaan dan membayar ganti rugi kepada masyarakat adat yang terdampak.
Sebelum pelaporan ini, Koalisi juga telah melakukan sejumlah audiensi dengan KLHK pada Kamis (25/4/2024) dan Jumat (26/4/2024) yang dilanjutkan dengan penyampaian laporan ke Kompolnas untuk mendesak profesionalitas dan menarik aparat. Selain itu juga mengunjungi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) pada Jumat (26/4/2024) untuk meminta perlindungan dan pemulihan hak warga korban.
Audiensi tersebut membahas dan menyampaikan temuan-temuan baru kasus perusakan lingkungan, pelanggaran HAM, kriminalisasi masyarakat adat dan dugaan keterlibatan aparat yang dilakukan oleh PT. Mayawana Persada.
Salah satu perwakilan masyarakat adat Kualan Hilir, Ketapang, Tarsisius Fendi Susepi yang ikut hadir mengaku sampai saat ini sudah mendapat 19 kali pemanggilan kepolisian.
Organisasi non-pemerintah dan aktivis lingkungan juga memainkan peran penting dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, melindungi kawasan lindung gambut, dan menyelamatkan spesies yang terancam punah. Mereka harus terus mendesak pemerintah dan
perusahaan untuk bertanggung jawab atas praktek-praktek yang merugikan lingkungan dan masyarakat.
Situasi deforestasi yang terjadi di Kalimantan Barat oleh PT Mayawana Persada menjadi cerminan dari tantangan besar dalam upaya menjaga keberlanjutan lingkungan dan mendukung hak-hak masyarakat adat. Diperlukan komitmen dan tindakan bersama untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan memastikan keberlangsungan hidup semua pihak yang terdampak.