Bandung [MP]– Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) ke-9 resmi selesai dengan catatan penting berupa desakan terhadap pemerintah agar mau berkomitmen mengatasi campur tangan industri rokok guna menjamin hak kesehatan anak-anak Indonesia. Jumat (31/5/2024).
Pada tahun 2020 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa penyakit yang berkaitan dengan tembakau akan menjadi masalah kesehatan utama terbesar.
Penyakit-penyakit tersebut menyebabkan sekitar 8,4 juta kematian setiap tahun. Secara global, tembakau merupakan penyebab sekitar 8,8 persen dari semua kematian pada tahun 2000, yang menunjukkan peningkatan kematian lebih dari satu juta dibandingkan kematian yang terjadi pada tahun 1990.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Atnike Nova Sigiro menyatakan bahwa atas kesehatan didasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, yaitu universal, kesetaraan, nondiskriminasi, tidak dapat dipisahkan, saling terkait, saling tergantung, menjunjung martabat kemanusiaan, dan melibatkan tanggung jawab negara.
“Hak atas kesehatan bersifat universal, artinya setiap orang, baik yang tinggal di kota maupun di desa, baik yang kaya maupun yang miskin, tanpa melihat jenis kelamin, orientasi seksual dan identitas gender, suku, agama, ras, bahasa, golongan, dan pilihan politik, berhak atas kesehatan,” kata Atnike membuka Simposium hari ke-3 ICTOH di Holiday Inn.
Dalam mewujudkan hak kesehatan, konsumsi tembakau terbukti masih membunuh satu orang setiap 10 detik. Atnike menyebut bahwa separuh kematian tersebut terjadi di Asia, akibat tingginya peningkatan penggunaan tembakau. Kematian di Asia meningkat hampir empat kali lipat dari 1,1 juta pada tahun 1990 menjadi 4,2 pada tahun 2020.
Untuk Indonesia, diperkirakan bahwa 4 persen – 7,9 persen dari total beban penyakit pada tahun 1990 terjadi sebagai akibat penggunaan tembakau. Peningkatan prevalensi pada perokok remaja juga sangat mengkhawatirkan. Data tahun 1995 – 2007 menunjukkan perokok remaja usia 15 – 19 tahun meningkat lebih dari 2 kali lipat dari 7 persen tahun 1995 menjadi 19 persen tahun 2010.
“Selain menyebabkan kematian bagi penggunanya, konsumsi rokok juga merugikan kesehatan orang lain yang bukan perokok yang mengisap asapnya atau perokok pasif,” jelas Atnike.
Ia mengingatkan bahwa peningkatan prevalensi pada perokok remaja juga sangat mengkhawatirkan. Data tahun 1995 – 2007 menunjukkan perokok remaja usia 15 – 19 tahun meningkat lebih dari 2 kali lipat dari 7 persen pada tahun 1995 menjadi 19 persen pada tahun 2010.
Dengan menelaah kondisi empiris dampak negatif rokok bagi anak Indonesia, maka perlu ketegasan pemerintah untuk melakukan pengaturan yang komprehensif. Khususnya mengenai pengendalian tembakau sebagai implementasi pemenuhan dan perlindungan hak atas kesehatan bagi warga negara.
Setidaknya pemerintah dapat melakukan langkah-langkah pemenuhan dan perlindungan hak atas kesehatan warga negara. Pertama, melalui edukasi peningkatan kesadaran ancaman bahaya merokok. Kedua, perlunya memperluas dan melembagakan jejaring organisasi pengendalian dampak tembakau secara nasional. Ketiga, penyusunan satu peta jalan pengendalian dampak tembakau yang menjadi rujukan bersama dalam upaya pengendalian tembakau.
Keempat, mengupayakan penurunan prevalensi perokok agar terjadi penurunan prevalensi berbagai penyakit tidak menular yang disebabkan oleh kebiasaan merokok dan paparan asap rokok. Tak lupa pentingnya mensosialisasikan dan mengoptimalkan usaha-usaha pemerintah daerah untuk membuat Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTR). Misalnya memberikan insentif bagi daerah yang memiliki pengaturan tentang KTR.
“Pemerintah terus melakukan upaya pencapaian target penurunan kemiskinan dan penurunan kemiskinan struktural dan berbagai target SDGs lainnya,” terang Atnike.
Untuk itu, pada momentum penutupan ICTOH ke-9, sejumlah organisasi profesi, kelompok masyarakat, pemerintah, akademisi, mahasiswa, dan penyelenggara Indonesian Conference on Tobacco or Health 2024 merumuskan Deklarasi Bandung. Deklarasi ini bertujuan untuk mengatasi epidemi tembakau dengan beberapa cara. Pertama, menekan peningkatan dan tingginya jumlah perokok aktif di Indonesia.
Kedua, mengakui bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara di kawasan Asia Pasifik yang belum meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) WHO.
Ketiga, menyadari bahwa pengendalian rokok dan vaping merupakan elemen penting untuk mencapai Sustainable Development Goals pada tahun 2030, yang merupakan komitmen Indonesia.
Keempat, mencegah pengaruh negatif industri tembakau terhadap perilaku, budaya, dan kebijakan serta menolak narasi pengurangan dampak buruk yang terutama ditujukan untuk menjual produk yang lebih adiktif dan berbahaya seperti rokok elektronik.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Eva Susanti menyatakan Indonesia sebagai pasar potensial yang empuk bagi industri rokok menyebabkan perokok anak menjadi sangat ketergantungan terhadap nikotin. Anak pun akan kesulitan berhenti dan justru menambah beban masalah penyakit yang dia derita.
“Kami mengharapkan dukungan dan monitoring dan evaluasi yang hadir, dan pengalaman dari beberapa negara dengan melakukan kolaborasi melindungi generasi mereka [anak-anak],” ujarnya.
Kolaborasi pasca ICTOH menjadi penting karena Eva menyebut Kemenkes tidak dapat berjalan sendiri. Baik dalam urusan membatasi iklan, promosi, dan sponsorship rokok sampai dengan kajian terhadap kadar TAR dan nikotin dalam rokok konvensional maupun rokok elektronik.
Sementara itu dr. Lily Sriwahyuni Sulistyowati,M.M dari Vital Strategies menyatakan penurunan prevalensi perokok anak di kalangan remaja saat ini bukanlah sebuah prestasi. Ia mengingatkan, bahwa dalam RPJMN 2014-2019, pemerintah menargetkan prevalensi perokok remaja turun 5,4 persen. Namun dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angkanya naik ke 9,1 persen. Sebagai bentuk kompromi, maka penyesuaian target dari yang awalnya 5,4 persen menjadi 8,7 persen.
“Jadi hasil kemarin turun 7,4 persen, seolah-olah sudah berhasil menurunkan. Sebetulnya target kita 5,4 persen. Ini menandakan perjuangan kita masih panjang,” ujar dr. Lily.
ICTOH ke-9 menghadirkan 250 orang peserta terdiri dari; pembicara, presenter oral maupun poster, pemerintah, akademisi, remaja, jaringan pengendalian tembakau, media, maupun masyarakat umum hadir langsung ke lokasi. ICTOH ke-9 terdiri dari 4 plenari, 4 simposium, 6 diskusi parallel, dan presentasi poster.
Dalam kata penutup, Ketua Panitia ICTOH ke-9, dr. Sumarjati Arjoso, SKM melaporkan bahwa ICTOH tahun ini berhasil mengumpulkan 105 abstrak dari berbagai organisasi atau institusi.
“Semoga seluruh rangkaian kegiatan yang sudah dilaksanakan bermanfaat dalam upaya pengendalian tembakau di Indonesia. Besar harapan ICTOH ke 9 ini dapat memberikan rekomendasi kebijakan untuk pengendalian tembakau di Indonesia,” kata Sumarjati.
Tepat pada peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2024, Dinas Kesehatan Kota Bandung juga menggelar pembacaan Deklarasi HTTS oleh Forum Kota Anak dan pemberian piagam penghargaan kepada 7 Tatanan KTR di kota Bandung.