Bandar lampung[MP]-Jelang tahun politik 2024 informasi digital berkembang pesat, disinformasi telah menjadi ancaman yang semakin mengkhawatirkan bagi masyarakat modern. Penyebaran informasi palsu atau salah secara sengaja melalui media sosial dan platform digital lainnya telah menyebabkan dampak yang merusak, baik pada tingkat individu maupun masyarakat secara keseluruhan.
Berangkat dari hal itu, atas dukungan Google News Initiative, AJI Bandar Lampung menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Kolaborasi Melawan Disinformasi” di Hotel Whiz Prime, Bandar Lampung, Sabtu, 2 September 2023. Diskusi terpumpun itu diikuti oleh jurnalis, aktivis, akademisi, mahasiswa, dan sejumlah organisasi keagamaan, serta NGO.
Ketua AJI Bandar Lampung Dian Wahyu Kusuma menuturkan, disinformasi tidak hanya mengancam demokrasi dan keamanan, tetapi juga dapat merusak reputasi organisasi, menyebabkan ketidakpercayaan pada lembaga publik, dan mengganggu proses pengambilan keputusan.
“Oleh karena itu, untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh masyarakat modern ini, kolaborasi lintas sektor dan usaha bersama dari pemerintah, sektor swasta, lembaga media, dan masyarakat sipil menjadi krusial dalam melawan disinformasi dan memastikan kebenaran informasi yang lebih terjamin,” kata Dian Wahyu.
Selain itu Dian menilai, persebaran disinformasi yang masif dan cepat melalui internet telah mengubah paradigma penyampaian informasi dan komunikasi di masyarakat. Tren ini menciptakan ekosistem informasi yang kompleks, di mana informasi yang salah atau menyesatkan seringkali dapat dengan mudah menyebar. Disinformasi dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti berita palsu, rumor, propaganda, dan manipulasi citra.
Sekretaris Jenderal AJI Indonesia Ika Ningtyas yang hadir sebagai pemantik diskusi bilang, pada tahun politik geliat informasi palsu cukup masif menyebar di sosial media. Terutama platform Facebook dan Tik Tok. Beberapa tren narasi berbahaya yang kerap muncul di antaranya disinformasi isu identitas seperti agama, ras, etnis, dan orientasi seksual. Lalu, narasi yang mendelegitimasi pemilu karena menurunnya kepercayaan publik pada independensi dan integritas penyelenggara pemilu. Serta, manipulasi isu-isu terkait hak asasi manusia dan isu publik.
“Narasi tersebut berbahaya sebab bisa memperparah perpecahan dan ketidaksepahaman serta memicu ujaran kebencian terhadap kelompok atau individu,” ujar Ika.
Menurut Ika, untuk melawan disinformasi membutuhkan kerjasama antara para ahli teknologi, akademisi, jurnalis, dan pengambil keputusan untuk mengembangkan pendekatan kolaboratif yang holistik dan efektif.
Sementara, salah satu peserta diskusi Mas Alina menilai, munculnya hoaks di internet turut diamplifikasi oleh media yang tak kredibel.
“Beberapa media belum menerapkan verifikasi ketat terhadap suatu informasi. Sehingga, informasi yang menyebar belum diketahui kebenarannya,” ujar perwakilan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Lampung itu.
Mas Alina pun mengatakan, diperlukan pendekatan holistik yang menggabungkan upaya pencegahan, deteksi, dan penanggulangan disinformasi dengan kerjasama yang erat antara pihak-pihak terkait.
“Dengan demikian, diharapkan masyarakat dapat lebih berdaya dalam menghadapi disinformasi dan memastikan bahwa informasi yang mereka terima adalah akurat, terpercaya, dan berdampak positif,” ujarnya