Bandar Lampung [MP]-Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung menggelar diskusi dengan tema “Rentannya Nasib Pekerja Media dan Pentingnya Berserikat” di kafe Teman Kopi, Way Halim, Bandar Lampung, pada Jum’at (5/5/2023). Diskusi digelar sekaligus peluncuran Serikat Pekerja Media (SPM) Lampung.
Diskusi tersebut diisi oleh sejumlah narasumber, yakni Ketua AJI Bandar Lampung Dian Wahyu Kusuma, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung Sumaindra Jarwadi, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Lampung Chandra dan Leni Marlina, pengurus Divisi Pengembangan Organisasi dan Advokasi Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Lampung.
Dian menyoroti, bagaimana perusahaan pers mengalami krisis keuangan yang juga merupakan dampak peristiwa global seperti pandemi dan konflik perang di Ukraina. Hal ini kemudian memaksa perusahaan melakukan efisiensi, salah satunya dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan upaya-upaya menekan pengeluaran lainnya.
Permasalahan lainnya juga yang ia bahas, seperti misalnya upah jurnalis yang dibawah Upah Minimum Regional (UMR), jam kerja yang tak jelas dan hari libur yang tipis bagi para jurnalis.
Menghadapi problem ini, pihaknya kemudian menginisiasi terbentuknya serikat pekerja bagi jurnalis lintas media di Lampung. Dian menilai, serikat pekerja bagi jurnalis selama ini kurang bertumbuh dibandingkan jumlah perusahaan media. Bahkan di Lampung belum ada serikat pekerja jurnalis.
“Di nasional ada 74 serikat pekerja, dan yang aktif cuma 20,” ungkapnya.
Berdasarkan catatan AJI Bandar Lampung, terdapat 13 jurnalis Lampung yang telah mendaftar dalam Serikat Pekerja Media (SPM) Lampung. Menurut Dian, terdapat beberapa tantangan bagi pembentukan dan partisipasi serikat pekerja media, salah satunya adalah intervensi dari perusahaan pers untuk membentuk serikat pekerja.
“Kadang teman-teman jurnalis itu pengen berserikat, tapi (dari) perusahaan enggak boleh,” jelasnya.
Sementara itu, Sumaindra mengaku prihatin dengan kondisi kerja jurnalis saat ini. Ia menilai kerap kali tak ada kejelasan terkait kepastian status kerja jurnalis, misalnya permasalahan kontributor media yang bekerja tanpa adanya perlindungan dan jaminan kerja yang jelas.
Lalu, UU Cipta kerja juga dinilai semakin memperlemah tenaga kerja di media.
Sumaindra mengatakan, pihaknya telah mengadvokasi jurnalis yang mengalami PHK dan tak menerima pesangon yang layak.
Ia kemudian mendorong jurnalis untuk berpartisipasi dalam serikat pekerja media, meskipun menurutnya terdapat realita di mana perusahaan kerap melakukan upaya untuk memperlemah serikat kerja atau disebut Union Busting.
“Teman-teman jurnalis mau jam kerjanya enggak jelas? Mau di PHK nggak dapet pesangon? Mau kerja tanpa status yang jelas? Mau enggak dapet BPJS Ketenagakerjaan?” katanya.
Selanjutnya, Direktur LBH Pers Chandra Bangkit secara tegas menyatakan, bahwa jurnalis tetaplah buruh meskipun banyak jurnalis yang tak merasa menjadi buruh. Ia menilai jurnalis harus mengedukasi diri perihal status kerja tersebut.
“Kawan-kawan itu (buruh) yang diupah perusahaan, maka kawan-kawan tunduk pada UU Ketenagakerjaan,” katanya.
Ia juga mempertanyakan miniminya laporan dari jurnalis yang diterima posko pengaduan pekerja, meskipun pada realitanya, banyak hak-hak jurnalis yang dilanggar.
“Saya belum pernah menemukan, (misalnya) laporan kawan-kawan jurnalis yang nggak dibayar THR-nya, ini jurnalis yang bisa jawab,” ungkapnya.
Kemudian, Leni Marlina menceritakan pengalamannya tak mendapatkan cuti bersalin yang tidak sesuai aturan. Ia juga menyinggung perihal gaji upah jurnalis perempuan di Lampung yang dinilainya tak layak.
“Jurnalis butuh berserikat, tapi banyak larangan dari perusahaan, kesadaran berserikat di kalangan jurnalis perempuan juga rendah,” ujarnya.
Selain membahas masalah ketenagakerjaan, Leni juga menceritakan jurnalis perempuan rentan dilecehkan oleh narasumber saat sedang bekerja. Ia menilai permasalahan ini juga harus diperjuangkan oleh serikat pekerja.
Sementara itu, Ketua SPM Lampung Derri Nugraha menjelaskan, pada 3 Mei 2023, jurnalis dari media cetak dan online di Lampung sepakat membentuk serikat pekerja media.
Kesepakatan itu merupakan respons keresahan para jurnalis terhadap kondisi pekerja media yang kian memprihatinkan.
“Harapannya, dengan berserikat kawan-kawan pekerja media bisa bersama-sama memperjuangkan haknya,” kata Derri.
Tak hanya jurnalis, Keanggotaan SPM Lampung terbuka untuk semua pekerja yang bergerak di industri media. Seperti kartunis berita, kolumnis, pengecek fakta, infografis berita, kurator berita, periset berita, penulis lepas, editor video, penyiar radio, news anchor, redaktur, dan kameraman. Saat ini pihak SPM sedang menyusun anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.